Rabu, 19 Mei 2010

MEMAKNAI PERKAWINAN

Oleh: Anis Masykhur
Sekretaris PSW STAIN Samarinda

Perdebatan isi RUU Terapan Peradilan Agama hingga detik ini masih menyedot perhatian banyak kalangan. Namun sayangnya, perdebatan itu tampaknya sudah mulai bergeser dari substansinya, yakni dari menjaga sakralitas perkawinan kepada isu pemidanaan atas pelaku pelanggaran administrasi perkawinan. Maka tidak aneh, jika isu yang paling dominan muncul adalah pidana pernikahan sirri, karena pernikahan ini telah menjadi tradisi sebagian besar masyarakat Islam Indonesia (Anis, 2005: 150). Pernikahan sirri sering didefinisikan sebagai bentuk pernikahan yang dilakukan hanya mengacu kepada hukum agama, dan tanpa mencatatkan/melaporkan kepada Negara.
Dari perdebatan yang berkembang, setidaknya ada dua permasalahan utama yang perlu dikemukakan kembali untuk ditempatkan pada posisinya. Pertama, apa makna dan tujuan sebenarnya dari sebuah perkawinan?. Kedua, apakah hukum agama dan hukum Negara ini sebagai sesuatu yang harus dibedakan atau disatukan? Reposisi ini menjadi penting, karena perlu ada kesepahaman pandangan tentang signifikansi pencatanan dan pemberian sanksi atas pelanggarannya.
Dalam ajaran agama disebutkan bahwa perkawinan adalah salah satu proses yang sangat sakral, karena melibatkan banyak nyawa manusia dan melindungi kesucian generasi. Dengan perkawinan tersebut, manusia bisa terjaga dari kemusnahan. Untuk itu, tidak aneh jika agama (terutama Islam) sangat memperhatikan perkawinan ini, sehingga pengaturannya begitu rigid dan komplit. Kesalahan dalam salah satu tahap/proses akan dapat mengganggu proses keturunan.
Banyak hikmah yang timbul dari perkawinan tersebut. Perkawinan dapat menumbuhkan naluri kebapakan (ubuwwah) dan keibuan (umuwwah), naluri kemanusiaannya (gharizah jinsiyyah) tersalurkan, dan relasi antar manusia makin abadi karenanya. Namun tidak selalu hikmah positif tersebut ini melekat pada perkawinan. Malahan tidak jarang sebuah perkawinan dapat menimbulkan kesengsaraan, terutama bagi kalangan perempuan dan anak. Posisi perempuan yang selalu diposisikan sebagai objek sasaran pekerjaan domestik, termasuk juga di dalamnya objek seksual. Lebih ironis lagi, instrumen perlindungan terhadap hak-hak perempuan tidak begitu kuat, termasuk perlindungan oleh agama. Dalam fiqh konvensional, instrumen perlindungan hanya dimanifestasikan dalam bentuk "perwalian."
Apalagi dalam budaya patriarkhi masyarakat, perempuan diposisikan sebagai the second class, yang jelas mempunyai implikasi cukup signifikan dalam pemberian peran terhadapnya.
Di zaman modern ini, bersamaan dengan tuntutan untuk menjadi negara demokrasi yang di dalamnya adanya instrumen perlindungan terhadap HAM, maka dalam perkawinan posisi perempuan harus diberikan perlindungan yang maksimal.
Pengundangan RUU Terapan ini merupakan salah satu instrumen perlindungan bagi kaum perempuan dan (juga) anak, yang selama ini seringkali menjadi korban, dan dipandang sebagai makhluk ”kurang berharga” sepanjang rentang sejarah. Lalu Islam datang untuk membebaskannya; perempuan kemudian mempunyai hak waris, hak menentukan nasib sendiri, dan lain sebagainya. Ini adalah potret pembebasan yang dilakukan Rasulullah Saw secara bertahap (tadriji). Begitu juga tentang konsep perwalian dalam perkawinan.
Perkembangan zaman telah mengembangkan konsep perwalian (wala’) perkawinan, yang dalam fiqh diserahkan kepada kerabatnya yang laki-laki. Negara mengambil peran wali tersebut melalui perundang-undangan dengan menggunaan pendekatan qiyas aulawi. Jika untuk urusan hutang piutang saja, Agama memerintahkan untuk melakukan pencatatan yang jelas terkait dengan kapan pembayarannya (lihat QS 2: 282), apalagi terkait dengan nyawa manusia. Mengapa tidak?
Hukum Negara adalah Hukum Agama?
Permasalahan yang perlu diperjelas selanjutnya adalah tentang disparitas hukum agama dan hukum negara. Dalam konteks perkawinan, masyarakat masih membedakan antara hukum agama dan hukum negara ini dengan menolak kewajiban mencatatkan perkawinan, karena itu adalah bukan hukum Tuhan. Pemberian hukuman dipandang bertentangan dengan ajaran agama, karena melampaui hukum yang semestinya (kriminalisasi). Padahal adanya kebijakan pemerintah ini harus dipahami sebagai bagian dari usaha mewujudkan kemaslahatan yang lebih besar. Dalam kaidah fiqh disebutkan, kemaslahatan yang lebih besar harus lebih didahulukan daripada kemaslahatan khusus (al-mashlahat al-’amah muqaddamat ’ala al-mashlahat al-khashshah). Selain itu, kebijakan pemerintah senantiasa tidak bisa dilepaskan pada kemaslahatan (tasharruf al-imam ’ala ar-ra’iyyah manuthun bil maslahat).
Jika mendasarkan pada kaidah-kaidah di atas, maka pada hakikatnya bahwa kebijakan pemerintah tersebut selama sejalan dengan kemaslahatan rakyat banyak, maka itu bisa dikatagorikan sebagai hukum agama pula. Memang, yang masih menjadi permasalahan adalah siapa yang berhak memberikan batasan maslahat ini. Ini yang menjadi permasalahan.
Penentuan maslahat dalam konteks kekinian tidak bisa diserahkan kepada orang-perorang, apalagi jika menyangkut hajat orang banyak. Untuk itu harus bersifat institusional/kelembagaan, yakni dibahas dalam majelis syura (permusyawaratan). Dalam konteks nation-state ini adalah lembaga legislatif (DPR/MPR). Dengan demikian, keberlakuan hukum ini akan mengikat dan sudah melalui penelitian dan pertimbangan yang cukup matang. Sebagai contoh adalah penentuan pentingnya pencatatan perkawinan ini.
Lain halnya jika maslahat tersebut menyangkut kepentingan perseorangan yang terpisah dari kepentingan orang lain, maka sebagai penentu kemaslahatan itu adalah pihak yang bersangkutan. Seperti halnya penentuan hukum poligami, yang menentukan adalah si perempuan, karena dia penentu kemaslahatan dan keadilan. Dengan kata lain, perempuan tersebut yang merasakan efek secara langsung dari poligami tersebut. Wallahu a’lamu bis shawab.

Tidak ada komentar: